Minggu, 27 Januari 2013

MATERI PELATIHAN PENGEMBANGAN PROFESI DI UIN MALIKI MALANG 2013


IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL BERBATUAN LKS UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA 
SISWA KELAS II SLTPN 4 SINGARAJA



oleh

I Nyoman Gita
Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Pendidikan MIPA,  IKIP Negeri Singaraja


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan meningkatkan kualitas pembelajaran yang dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.  Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IIB3 SLTPN 4 Singaraja tahun ajaran 2004/2005 sebanyak 38 orang. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam tiga siklus. Data penelitian tentang prestasi belajar matematika siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes. Data tentang tanggapan siswa terhadap pendekatan pembelajaran yang diterapkan dikumpulkan dengan quesioner. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif.         Rerata tes prestasi belajar pada akhir siklus I adalah 64,7 dan pada akhir siklus II reratanya 40,8. Terjadi penurunan yang signifikan dari siklus I ke siklus II. Penurunan rerata pada akhir siklus II disebabkan oleh sebagian besar siswa belum mampu mengaplikasikan konsep yang sudah diajarkan. Pada akhir siklus III reratanya 60,1. Bila dibandingkan dengan siklus II maka terjadi peningkatan yang signifikan Dari hasil angket yang diisi oleh semua subjek penelitian sebanyak 38 orang diperoleh 23 orang (60,5%) memberi tanggapan  positif, dan 15 orang (39,5%) memberi tanggapan negatif.

Kata  kunci :  pendekatan pembelajaran kontekstual


ABSTRACT


The aim of the research was to increase learning quality which could improve the students’ mathematic achievement. The subjects of the study were the students of class IIB3 of SLTPN 4 Singaraja in academic year of 2004/2005. This study was a classroom action research having tree cycles. The data of the study were collected by means of test, while the data about students’ response were collected by questionaire. Then they were analyzed by using descriptive statistic. In cycles I, the mean was 64.7 and in cycles II the mean was 40.8 The test result showed  the decrease from cycles I to cycles II This decrease because the students do not know application of the concept. In cycles III  the mean was 60.1.The test results showed significant increase from cycles II to cycles III. The students’ responses to learning models were 60.5% positive and 39.5% negative.

Key Word : contextual teaching and learning.

1.Pendahuluan
            Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 4 Singaraja merupakan SLTP Negeri di kecamatan Buleleng yang terletak di pinggiran Kota Singaraja, dan termasuk SLTP Negeri yang kurang pavorit. Lulusan SD di sekitar sekolah ini yang mempunyai NEM tinggi bukan memilih SLTP Negeri 4 Singaraja, tapi cenderung memilih SLTP Negeri 1 Singaraja.
            Berdasarkan informasi dari kepala sekolah dan rekan-rekan guru yang menjadi panitia penerimaan siswa baru terungkap bahwa bahan baku (input) siswa yang masuk ke SLTP Negeri 4 Singaraja NEM nya tergolong rendah, dan banyak siswa lulusan SD yang NEM nya kurang dari 30 diterima di SLTP Negeri 4 Singaraja. Semua calon hampir bisa ditampung di sekolah ini. Rendahnya kualitas input berimplikasi rendahnya kemampuan siswa.
            Berdasarkan informasi dari Ibu Kartini, salah seorang guru matematika di SLTPN 4 Singaraja diperoleh informasi bahwa hasil belajar matematika siswa rendah. Rendahnya hasil belajar ini merupakan indikator rendahnya kemampuan siswa dalam pemecahan masalah. Dengan kata lain, siswa mengalami banyak kesalahan dalam pemecahan masalah (menjawab soal).  Menurut Berg (1991), kesalahan siswa dalam matematika dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu : (1) ralat yang terjadi secara acak, tanpa pola  (2) salah mengingat atau menghapal dan  (3) kesalahan yang terjadi secara konsisten, terus menerus atau kesalahan yang menunjukkan pola tertentu. Kesalahan-kesalahan ini akan berdampak negatif dalam mempelajari materi matematika lebih lanjut.
            Lebih lanjut, dari informasi Ibu Kartini juga terungkap, banyak siswa mengalami kesalahan konsep dan kesalahan menerapkan definisi. Kesalahan-kesalahan ini belum pernah ditangani secara terencana, sehingga hal ini berdampak buruk dalam mengikuti pelajaran matematika berikutnya. Para guru umumnya memfokuskan diri untuk menghabiskan materi yang ada pada kurikulum dan berupaya menuangkan pengetahuannya kepada siswa sebanyak-banyaknya. Konsekuensi dari ini, guru merasa telah mengajar, tetapi mungkin siswa belum belajar, sehingga hasil belajar siswa belum memuaskan.
            Pandangan konstruktivistik menekankan bahwa ada banyak cara untuk menstruktur makna dan makna itu berasal dari pengalaman individual. Konstruktivisme merupakan suatu cara untuk menjelaskan bagaimana manusia mengkonstruksi pengetahuannya. Berdasarkan hasil-hasil penelitiannya tentang bagaimana anak-anak memperoleh pengetahuan, Piaget berkesimpulan bahwa pengetahuan dibangun dalam diri anak (Dahar,1989). Nickson (dalam Grows, 1992) menyatakan pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivistik membantu pebelajar untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu terbangun kembali, transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep-konsep/prinsip-prinsip baru. Sadia (1996) menyatakan, dalam pandangan konstruktivistik terjadi pergeseran dari seseorang yang “mengajar” menjadi seseorang fasilitator dan mediator. Hudojo (1998) menyatakan bahwa pembentukan pengetahuan harus dibuat sendiri oleh si pebelajar atau orang yang mau mengerti. Dari pendapat-pendapat di atas, dalam pembelajaran, siswa itulah yang aktif berpikir merumuskan konsep dan mengambil makna.
Dalam proses pembelajaran, guru memulai dengan menjelaskan - memberi contoh – latihan soal (latihan soal biasanya dikaitkan dengan penerapan rumus tadi). Jadi, siswa secara langsung diberikan rumus-rumus matematika tanpa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri. Berbeda halnya dengan pembelajaran yang berorientasi pada kurikulum berbasis kompetensi (KBK), pembelajaran hendaknya diawali dari dunia nyata dan rumus diharapkan ditemukan oleh siswa sendiri.. Sebagai contoh, sebelum menjelaskan sifat distributif, yaitu a x (b+c) = (axb)+(axc), siswa diberi pertanyaan sebagai berikut. Wayan disuruh membeli beras sebanyak 8 kg. Harga beras per kg Rp.2900,-. Berapa rupiah Wayan harus membayar?. Cara siswa menjawab kemungkinan bervariasi. Beberapa kemungkinan cara siswa menjawab adalah: 8 x (3000-100) = (8x3000) – (8x100), atau (10-2)x2900 = (10x2900) – (2x2900) atau cara lainnya. Jadi jenis jawaban dapat beragam
Pendekatan pembelajaran yang cocok dengan KBK adalah pendekatan kontekstual atau contextusl teaching and learning (CTL). CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan guru hendaknya mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Direktorat PLP,2002). Pada pembelajaran CTL, guru tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi guru hendaknya mendorong siswa untuk mengontruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri..Melalui CTL, siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’ bukan ‘menghafal’.
Dalam pembelajaran, guru perlu memahami konsepsi awal yang dimiliki siswa dan mengaitkan dengan konsep yang akan dipelajari. Konsepsi awal ini dapat direkam dari pekerjaan siswa dalam LKS dan dari jawaban siswa terhadap pertanyaan-pertanyaan guru yang disampaikan pada awal pembelajaran. Dalam pembelajaran biasanya siswa malu atau takut bertanya kepada gurunya dan lebih suka bertanya kepada teman-temanya. Oleh karena itu, implementasi pendekatan kontekstual berbantuan LKS  perlu diterapkan. Pendekatan kontekstual memudahkan siswa memahami materi karena proses pembelajaran diawali dari dunia nyata dan rumus diharapkan ditemukan oleh siswa sendiri.
            Tujuan dari penelitian ini adalah  (a) meningkatkan prestasi belajar siswa kelas II SLTPN 4 Singaraja dalam matematika dengan implementasi pendekatan kontekstual berbantuan LKS dan (b) mendeskripsikan tanggapan siswa terhadap implementasi pendekatan kontekstual berbantuan LKS.

2. Metode Penelitian
            Subjek penelitian ini adalah siswa kelas II B3  SLTPN 4 Singaraja tahun ajaran 2004/2005  sebanyak 38 orang.
            Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas  (PTK) yang berlangsung tiga siklus. Rancangan masing-masing siklus terdiri dari empat tahap, yaitu: perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, evaluasi dan refleksi (Kemmis & Taggart, 1988).
Langkah-langkah dalam recana tindakan adalah seperti berikut. (a) Penelitian ini diawali dengan mengadakan diskusi dengan guru matematika   SLTPN 4 Singaraja yaitu Ibu Kartini tentang keadaan siswa pada tahun-tahun terdahulu. Hasil diskusi ini, antara lain : para siswa kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran, kurang dalam pemahaman konsep, belum diterapkan pembelajaran kontekstual, tugas-tugas tentang materi yang sudah diajarkan, siswa yang belum mengerti malu mengacungkan tangan. (b) Peneliti bersama-sama guru matematika mendiskusikan kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi siswa. Dalam pertemuan ini disepakati menerapkan tindakan berupa “implementasi pendekatan kontekstual berbatuan LKS” karena tindakan di atas dipandang cukup efektif dalam pembelajaran. Tindakan ini berlangsung tiga siklus. (c) Peneliti dan guru menyusun LKS.  (d) Peneliti dan guru menyusun tes prestasi belajar. Tes hasil belajar disusun dalam bentuk esai untuk mengukur prestasi belajar siswa, sedangkan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap model pembelajaran, siswa disuruh menulis tanggapan dengan bebas pada selembar kertas lengkap dengan alasan.
Langkah-langkah dalam pelaksanaan tindakan adalah seperti berikut. (a) Guru membagi kelas menjadi delapan kelompok. (b) Guru membagikan LKS kepada siswa untuk dikerjakan secara berkelompok tentang materi yang belum diajarkan. Tugas ini diperlihatkan pada awal pertemuan pada saat membahas materi tersebut. (c) Selajutnya, guru menyampaikan kesalahan-kesalahan yang dibuat pada tugas oleh masing-masing kelompok dan menggiring kelompok lainnya agar bisa memberikan jawaban yang benar. (d) Guru menjelaskan materi yang memang kira-kira tidak dapat dipahami oleh siswa dengan mempelajari sendiri atau secara berkelompok.
            Selama pelaksanaan tindakan, dilaksanakan observasi terhadap perilaku siswa pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar. Observasi dilakukan oleh peneliti bersama praktisi. Selanjutnya, semua hasil observasi ini dievaluasi untuk mengetahui ketepatan prosedur pelaksanaan tindakan atau kebermaknaan tindakan.
            Hasil observasi dievaluasi dan direfleksikan. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga siklus. Pada siklus pertama, dilakukan tiga kali refleksi yaitu sebelum tindakan, di pertengahan tindakan dan di akhir tindakan.
            Refleksi pada awal kegiatan pada siklus pertama bertujuan untuk merencanakan tindakan. Refleksi pada pertengahan merupakan semi refleksi dilakukan oleh peneliti bersama praktisi, bertujuan untuk melihat kelemahan-kelemahan tindakan sebelumnya agar tindakan berikutnya lebih sempurna. Refleksi pada akhir siklus pertama yang dilakukan oleh peneliti bersama praktisi dilakukan untuk mencermati dampak negatif dan dampak positif tindakan pada siklus pertama dan digunakan sebagai bahan perbaikan perencanaan tindakan siklus kedua.
            Dalam penelitian ini, data tentang prestasi belajar matematika siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes, sedangkan untuk mengumpulkan data tentang tanggapan siswa terhadap model pembelajaran yang diterapkan, siswa menulis secara bebas pada selembar kertas lengkap dengan alasan.
            Data tentang prestasi belajar siswa dianalisis dengan menghitung reratanya. Data tentang tanggapan siswa terhadap tindakan yang dilakukan dianalisis berdasarkan persentase siswa yang memberi tanggapan yang dapat dikatagorikan positif atau negatif.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam tiga siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas II B3  SLTPN 4 Singaraja tahun ajaran 2004/2005 sebanyak 38 orang.
            Materi yang dibahas selama siklus I adalah Teorema Pythagoras. Pelaksanaan tindakan pada siklus I dari penelitian ini adalah sebagai berikut. (a) Guru membagi kelas menjadi delapan kelompok. Tiap kelompok terdiri dari empat atau lima orang. Dalam penentuan anggota kelompok siswa dibebaskan memilih kelompok sesuai dengan keinginannya. (b) Guru membagikan LKS kepada siswa untuk dikerjakan secara berkelompok tentang materi yang belum diajarkan. Tugas ini diperlihatkan pada awal pertemuan pada saat membahas materi tersebut. (c) Selajutnya, guru menyampaikan kesalahan-kesalahan yang dibuat pada tugas oleh masing-masing kelompok dan menggiring kelompok lainnya agar bisa memberikan jawaban yang benar. (d) Guru menjelaskan materi yang memang kira-kira tidak dapat dipahami oleh siswa dengan mempelajari sendiri atau secara berkelompok. (e) Setelah selesai membahas materi sesuai dengan yang telah direncanakan selama siklus I, seperti yang telah diuraikan di atas, guru selanjutnya memberikan tes. Tes yang diberikan berupa tes uraian yang nantinya akan digunakan untuk memperoleh data tentang prestasi belajar siswa.
            Rerata prestasi belajar pada siklus I adalah 64,7. Hal ini belum memenuhi tuntutan kurikulum yaitu minimal reratanya 65. Bila dicermati lebih mendalam, terdapat 7 siswa (18,4%) yang memperoleh skor lebih besar atau sama dengan 85 (tidak ada yang mendapat skor 100), terdapat 5 siswa (13,2 %) yang memperoleh skor kurang dari 50.
            Materi yang dibahas selama siklus II adalah garis-garis sejajar. Hasil yang diperoleh pada siklus I cukup memuaskan. Proses pembelajaran pada siklus I berjalan cukup baik namun dalam kelompok siswa masih ngumpul yang pintar dengan yang pintar dan yang kurang dengan yang kurang. Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa maka dipandang perlu memperbaiki proses pembelajaran. Pada siklus I sebagian besar siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya atau menjawab pertanyaan. Tampak hanya beberapa siswa saja yang mendominasi mengajukan pertanyaan atau menjawab pertanyaan. Pada siklus II guru mengubah susunan anggota kelompok sehingga pada setiap kelompok ada yang kemampuannya baik dan ada yang kemampuannya kurang. Di samping itu, guru lebih memfokuskan perhatiannya pada siswa yang nilainya sangat lemah pada siklus I. Siswa yang kurang berani bertanya atau mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan dimotivasi supaya berani bertanya, mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan. Di samping itu, penunjukan wakil kelompok untuk mengerjakan hasil diskusinya tidak lagi diserahkan kepada kelompok tersebut, tetapi dilakukan oleh guru dengan mengutamakan anggota kelompok yang jarang bertanya, mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan.
            Rerata prestasi belajar siswa pada siklus II adalah 40,8. Bila dibandingkan dengan rerata prestasi belajar pada siklus I, terjadi penurunan yang cukup besar yaitu dari 64,7 pada siklus I mejadi 40,8 pada siklus II. Pada siklus II terdapat 24 orang siswa (63,2%) yang memperoleh skor kurang dari 50.
            Materi yang dibahas selama siklus III adalah jajar genjang. Hasil yang diperoleh pada siklus II reratanya kurang memuaskan. Untuk itu pada siklus III guru berusaha agar siswa mau mengemukakan pendapatnya dan menanyakan hal-hal yang belum dimengertinya. Penunjukkan wakil kelompok yang mengerjakan di depan kelas hasil diskusinya masih dilakukan oleh guru dengan memprioritaskan yang mendapat nilai kurang pada siklus II.
            Rerata prestasi belajar siswa pada siklus III adalah 60,1. Bila dibandingkan dengan rerata prestasi belajar pada siklus II maka terjadi peningkatan yang cukup besar yaitu dari 40,8 pada siklus II mejadi 60,1 pada siklus III. Pada siklus III terdapat dua orang siswa (5,3%) yang memperoleh skor 100. Bila dibandingkan dengan siklus II maka terjadi peningkatan yang memperoleh skor 100 yaitu dari tidak ada siswa (0%) pada siklus II menjadi dua orang siswa (5,3%) pada siklus III. Terdapat 10 orang siswa (26,3%) yang memperoleh skor kurang dari 50. Prestasi belajar siswa pada siklus III masih lebih rendah dari siklus I. Hal ini disebabkan oleh karakteristik materi pada siklus III memerlukan tingkat penalaran yang lebih tinggi daripada materi pada siklus I. Materi pada siklus III menyangkut beberapa konsep, sedangkan pada siklus I hanya memuat konsep dasar.
            Pada akhir siklus III, di samping diadakan tes prestasi belajar, siswa juga disuruh menulis tanggapannya terhadap pendekatan pembelajaran yang diterapkan lengkap dengan alasan. Dari 38 orang siswa,  23 orang (60,5%) yang memberi tanggapan positif dan 15 orang (39,5%) yang memberi tanggapan negatif. Alasan siswa yang memberi tanggapan positif adalah (a) menjadi lebih giat belajar, (b) situasi belajar menyenangkan, (c) tahu kesalahan diri sendiri, (d) mudah memahami, (e) tahu kemampuan diri sendiri, (f) cepat mengerti, (g) bisa saling tanya jawab. Alasan siswa yang memberi tanggapan negatif adalah (a) belum mengerti tanpa dijelaskan lebih dahulu, (b) belum mengerti tanpa dijelaskan lebih dulu karena matematika sulit, (c) lambat mengerti, (d) tidak bisa mengerjakan.


3.2 Pembahasan
            Sebelum melaksanakan penelitian, sebagai tahap awal, peneliti mengadakan diskusi dengan guru matematika SLTPN 4 Singaraja yaitu Ibu Kartini tentang keadaan siswa pada tahun-tahun sebelumnya. Hasil diskusi ini, antara lain : para siswa kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran, kurang dalam pemahaman konsep, belum diterapkannya pembelajaran kontekstual, tugas-tugas tentang materi yang sudah diajarkan, siswa yang belum mengerti malu mengacungkan tangan untuk bertanya. Setelah kegiatan refleksi awal peneliti bersama guru matematika mendiskusikan kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi siswa. Dalam pertemuan tersebut disepakati menerapkan tindakan berupa implementasi pendekatan kontekstual berbantuan LKS. Penelitian tindakan ini dilaksanakan dalam tiga siklus. Pada akhir tiap siklus diadakan tes prestasi belajar dan khusus pada akhir siklus III di samping dilaksanakan tes prestasi belajar siswa juga disuruh menulis tanggapannya terhadap model pembelajaran yang diterapkan lengkap dengan alasan pada selembar kertas.
            Pada siklus I, diskusi kelompok belum berlangsung optimal. Tiap-tiap kelompok masih tampak lebih mengutamakan penonjolan individu. Hal ini tampak dari anggota kelompok yang lebih suka mengerjakan ke depan kelas sebelum membantu pemahaman teman didalam kelompoknya. Untuk mengatasi hal ini, guru berulang-ulang memberitahukan agar soal-soal yang diberikan didiskusikan dulu didalam kelompoknya dan jika ada siswa yang belum mengerti supaya menanyakan kepada teman sekelompoknya. Dari delapan kelompok yang ada, tampak satu kelompok, yaitu kelompok III, yang kurang aktif dan kurang serius mengikuti proses pembelajaran. Anggota kelompok pada siklus I dipilih sendiri oleh siswa. Akibatnya, ada kelompok yang anggotanya pintar-pintar dan ada kelompok yang anggotanya semuanya kurang dalam akademis. Pada akhir siklus I, diadakan tes prestasi belajar. Berdasarkan analisis data diperoleh rerata prestasi belajar siswa adalah 64,7. Bila dicermati lebih mendalam, terdapat 5 siswa (13,2 %) yang memperoleh skor kurang dari 50. Kesalahan yang dilakukan siswa sebagian besar dalam menyelesaikan soal cerita.  
            Pada siklus II, dalam diskusi kelompok, anggota kelompok yang sudah mengerti mau memberi penjelasan kepada teman didalam kelompoknya yang belum mengerti dan yang belum mengerti tidak malu-malu menanyakan kepada teman sekelompoknya. Bahkan, siswa berani bertanya kepada guru bila semua anggota kelompoknya belum yakin terhadap hasil diskusinya. Bila disuruh ke depan kelas, hampir semua siswa mengacungkan tangan, walaupun, setelah ditunjuk ke depan, ada yang salah. Ini berarti siswa sudah berani mengemukakan pendapatnya tidak peduli salah atau benar. Pada siklus II ini guru lebih banyak memberikan bimbingan kepada siswa yang nilainya kurang pada siklus I. Hasil tes prestasi belajar pada akhir siklus II menunjukkan rerata kelas 40,8. Bahkan, bila dicermati lebih mendalam terdapat 24 siswa (63,2 %) yang memperoleh skor kurang dari 50. Rendahnya skor pada siklus II disebabkan oleh kurangnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang memerlukan analisis yang cukup tinggi.
            Pada siklus III, dalam diskusi kelompok, semua siswa sudah berani mengemukakan pendapat maupun bertanya. Semua siswa tampak senang mengikuti pembelajaran. Pada siklus III, guru lebih banyak memberi bimbingan kepada siswa yang nilainya kurang pada siklus II. Hasil tes prestasi belajar pada akhir siklus III menunjukkan rerata kelas 60,1. Bila dibandingkan dengan siklus II terjadi peningkatan rerata yang cukup besar yaitu dari 40,8 menjadi 60,1. Bila dicermati lebih mendalam, terdapat dua siswa (5,3 %) yang memperoleh skor 100. Skor ini tak pernah dicapai, baik pada siklus I maupun pada siklus II.
            Terhadap penerapan metode pembelajaran ini, 60,5% siswa memberi tanggapan positif dan 39,5 persen memberi tanggapan negatif. Siswa yang memberi tanggapan negatif beralasan mereka belum bisa mengerti tanpa dijelaskan lebih dahulu. Sedangkan yang memberi tanggapan positip memberi alasan bahwa model tersebut dapat memotivasi mereka untuk belajar lebih giat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian besar siswa merasa senang dengan metode yang diterapkan yaitu implementasi pendekatan kontekstual berbantuan LKS.


4. Penutup
            Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa  implementasi pendekatan kontekstual berbantuan LKS mengakibatkan suasana akademik cukup kondusif. Hal ini tercermin dari banyaknya siswa yang berani mengemukakan pendapat maupun mengajukan pertanyaan pada saat proses pembelajaran. Bila dicermati prestasi belajar matematika siswa rerata pada akhir siklus I adalah 64,7  pada akhir siklus II adalah 40,8 dan pada akhir siklus III adalah 60,1. Prestasi untuk siklus I dan siklus III untuk ukuran SLTPN 4 Singaraja sudah cukup baik mengingat kemampuan input siswa yang masuk ke sekolah ini relatif lebih rendah dibandingkan SLTPN di kota Singaraja. Penurunan rerata hasil prestasi dari siklus I ke siklus II disebabkan oleh sebagian besar siswa belum mampu mengaplikasikan konsep yang diajarkan. Sebagian besar siswa memberi tanggapan positif terhadap pendekatan pembelajaran yang diterapkan.
            Berdasarkan  simpulan  di  atas,  dikemukakan  saran-saran  berikut.        (a) Disarankan kepada guru matematika untuk mencobakan model pembelajaran di atas  dengan lebih banyak memberi kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan konsep-konsep yang diajarkan karena pendekatan pembelajaran tersebut dan menciptakan suasana kelas yang kondusif. (b) Disarankan kepada peneliti lain untuk mengembangkan model pembelajaran di atas dan mencobanya di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Berg, VD. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana.
Dahar, Ratna Wilis. 1989. Konstruktivisme dalam Mengajar dan Belajar. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FP.MIPA IKIP Bandung.
Direktorat PLP. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta : Depdiknas.
Grows, D.A. 1992. Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York : MacMillan.
Hudojo, Herman. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Upaya-Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Menghadapi Era Globalisasi. IKIP Malang, 4 April 1998.
Kemmis,W.C & Taggart, R.M. 1988. The Action Research Planner. Geelong Victoria: Deakin University Press.
Sadia, Wayan. 1996. Model Konstruktivis Dalam Belajar dan Mengajar. Makalah disampaikan dalam Seminar Metode Pembelajaran MIPA di Jurusan Pendidikan  MIPA STKIP Singaraja Tgl. 1 Maret 1996. Singaraja : STKIP Singaraja.
  



Sahabat-sahabat guru yang super materi selengkapnya dapat didownload secara gratis di bawah ini