IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL BERBATUAN LKS
UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA
SISWA KELAS II SLTPN 4 SINGARAJA
oleh
I
Nyoman Gita
Jurusan
Pendidikan Matematika
Fakultas
Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan
meningkatkan kualitas pembelajaran yang dapat meningkatkan prestasi belajar
matematika siswa. Subjek penelitian ini
adalah siswa kelas IIB3 SLTPN 4 Singaraja tahun ajaran 2004/2005 sebanyak 38
orang. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam
tiga siklus. Data penelitian tentang prestasi belajar matematika siswa
dikumpulkan dengan menggunakan tes. Data tentang tanggapan siswa terhadap
pendekatan pembelajaran yang diterapkan dikumpulkan dengan quesioner.
Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Rerata
tes prestasi belajar pada akhir siklus I adalah 64,7 dan pada akhir siklus II
reratanya 40,8. Terjadi penurunan yang signifikan dari siklus I ke siklus II.
Penurunan rerata pada akhir siklus II disebabkan oleh sebagian besar siswa
belum mampu mengaplikasikan konsep yang sudah diajarkan. Pada akhir siklus III
reratanya 60,1. Bila dibandingkan dengan siklus II maka terjadi peningkatan
yang signifikan Dari hasil angket yang diisi oleh semua subjek penelitian
sebanyak 38 orang diperoleh 23 orang (60,5%) memberi tanggapan positif, dan 15 orang (39,5%) memberi
tanggapan negatif.
Kata kunci : pendekatan pembelajaran kontekstual
ABSTRACT
The aim of the research was to increase learning
quality which could improve the students’ mathematic achievement. The subjects
of the study were the students of class IIB3 of SLTPN 4 Singaraja in academic
year of 2004/2005. This study was a classroom action research having tree
cycles. The data of the study were collected by means of test, while the data
about students’ response were collected by questionaire. Then they were
analyzed by using descriptive statistic. In cycles I, the mean was 64.7 and in
cycles II the mean was 40.8 The test result showed the decrease from cycles I to cycles II This
decrease because the students do not know application of the concept. In cycles
III the mean was 60.1.The test results
showed significant increase from cycles II to cycles III. The students’
responses to learning models were 60.5% positive and 39.5% negative.
Key Word : contextual teaching and learning.
1.Pendahuluan
Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 4 Singaraja merupakan SLTP Negeri di kecamatan
Buleleng yang terletak di pinggiran Kota Singaraja, dan termasuk SLTP Negeri
yang kurang pavorit. Lulusan SD di sekitar sekolah ini yang mempunyai NEM
tinggi bukan memilih SLTP Negeri 4 Singaraja, tapi cenderung memilih SLTP
Negeri 1 Singaraja.
Berdasarkan
informasi dari kepala sekolah dan rekan-rekan guru yang menjadi panitia
penerimaan siswa baru terungkap bahwa bahan baku (input) siswa yang masuk ke
SLTP Negeri 4 Singaraja NEM nya tergolong rendah, dan banyak siswa lulusan SD
yang NEM nya kurang dari 30 diterima di SLTP Negeri 4 Singaraja. Semua calon
hampir bisa ditampung di sekolah ini. Rendahnya kualitas input berimplikasi
rendahnya kemampuan siswa.
Berdasarkan
informasi dari Ibu Kartini, salah seorang guru matematika di SLTPN 4 Singaraja
diperoleh informasi bahwa hasil belajar matematika siswa rendah. Rendahnya
hasil belajar ini merupakan indikator rendahnya kemampuan siswa dalam pemecahan
masalah. Dengan kata lain, siswa mengalami banyak kesalahan dalam pemecahan
masalah (menjawab soal). Menurut Berg
(1991), kesalahan siswa dalam matematika dapat dikelompokkan menjadi tiga
jenis, yaitu : (1) ralat yang terjadi secara acak, tanpa pola (2) salah mengingat atau menghapal dan (3) kesalahan yang terjadi secara konsisten,
terus menerus atau kesalahan yang menunjukkan pola tertentu.
Kesalahan-kesalahan ini akan berdampak negatif dalam mempelajari materi
matematika lebih lanjut.
Lebih
lanjut, dari informasi Ibu Kartini juga terungkap, banyak siswa mengalami
kesalahan konsep dan kesalahan menerapkan definisi. Kesalahan-kesalahan ini
belum pernah ditangani secara terencana, sehingga hal ini berdampak buruk dalam
mengikuti pelajaran matematika berikutnya. Para guru umumnya memfokuskan diri
untuk menghabiskan materi yang ada pada kurikulum dan berupaya menuangkan
pengetahuannya kepada siswa sebanyak-banyaknya. Konsekuensi dari ini, guru
merasa telah mengajar, tetapi mungkin siswa belum belajar, sehingga hasil
belajar siswa belum memuaskan.
Pandangan
konstruktivistik menekankan bahwa ada banyak cara untuk menstruktur makna dan
makna itu berasal dari pengalaman individual. Konstruktivisme merupakan suatu
cara untuk menjelaskan bagaimana manusia mengkonstruksi pengetahuannya.
Berdasarkan hasil-hasil penelitiannya tentang bagaimana anak-anak memperoleh
pengetahuan, Piaget berkesimpulan bahwa pengetahuan dibangun dalam diri anak
(Dahar,1989). Nickson (dalam Grows, 1992) menyatakan pembelajaran matematika
menurut pandangan konstruktivistik membantu pebelajar untuk membangun
konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui
proses internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu terbangun kembali,
transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep-konsep/prinsip-prinsip
baru. Sadia (1996) menyatakan, dalam pandangan konstruktivistik terjadi
pergeseran dari seseorang yang “mengajar” menjadi seseorang fasilitator dan
mediator. Hudojo (1998) menyatakan bahwa pembentukan pengetahuan harus dibuat
sendiri oleh si pebelajar atau orang yang mau mengerti. Dari pendapat-pendapat
di atas, dalam pembelajaran, siswa itulah yang aktif berpikir merumuskan konsep
dan mengambil makna.
Dalam proses pembelajaran, guru
memulai dengan menjelaskan - memberi contoh – latihan soal (latihan soal
biasanya dikaitkan dengan penerapan rumus tadi). Jadi, siswa secara langsung
diberikan rumus-rumus matematika tanpa diberi kesempatan untuk menemukan
sendiri. Berbeda halnya dengan pembelajaran yang berorientasi pada kurikulum
berbasis kompetensi (KBK), pembelajaran hendaknya diawali dari dunia nyata dan
rumus diharapkan ditemukan oleh siswa sendiri.. Sebagai contoh, sebelum
menjelaskan sifat distributif, yaitu a x
(b+c) = (axb)+(axc), siswa diberi pertanyaan sebagai berikut. Wayan disuruh
membeli beras sebanyak 8 kg. Harga beras per kg Rp.2900,-. Berapa rupiah Wayan
harus membayar?. Cara siswa menjawab kemungkinan bervariasi. Beberapa
kemungkinan cara siswa menjawab adalah: 8
x (3000-100) = (8x3000) – (8x100), atau (10-2)x2900
= (10x2900) – (2x2900) atau cara lainnya. Jadi jenis jawaban dapat beragam
Pendekatan pembelajaran yang cocok
dengan KBK adalah pendekatan kontekstual atau contextusl teaching and
learning (CTL). CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan guru hendaknya
mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Direktorat PLP,2002). Pada
pembelajaran CTL, guru tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi
guru hendaknya mendorong siswa untuk mengontruksi pengetahuan dibenak mereka
sendiri..Melalui CTL, siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’ bukan
‘menghafal’.
Dalam pembelajaran, guru perlu
memahami konsepsi awal yang dimiliki siswa dan mengaitkan dengan konsep yang
akan dipelajari. Konsepsi awal ini dapat direkam dari pekerjaan siswa dalam LKS
dan dari jawaban siswa terhadap pertanyaan-pertanyaan guru yang disampaikan
pada awal pembelajaran. Dalam pembelajaran biasanya siswa malu atau takut
bertanya kepada gurunya dan lebih suka bertanya kepada teman-temanya. Oleh
karena itu, implementasi pendekatan kontekstual berbantuan LKS perlu diterapkan. Pendekatan kontekstual
memudahkan siswa memahami materi karena proses pembelajaran diawali dari dunia
nyata dan rumus diharapkan ditemukan oleh siswa sendiri.
Tujuan
dari penelitian ini adalah (a)
meningkatkan prestasi belajar siswa kelas II SLTPN 4 Singaraja dalam matematika
dengan implementasi pendekatan kontekstual berbantuan LKS dan (b)
mendeskripsikan tanggapan siswa terhadap implementasi pendekatan kontekstual
berbantuan LKS.
2. Metode
Penelitian
Subjek
penelitian ini adalah siswa kelas II B3
SLTPN 4 Singaraja tahun ajaran 2004/2005
sebanyak 38 orang.
Penelitian
ini adalah penelitian tindakan kelas
(PTK) yang berlangsung tiga siklus. Rancangan masing-masing siklus terdiri
dari empat tahap, yaitu: perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, evaluasi
dan refleksi (Kemmis & Taggart, 1988).
Langkah-langkah dalam recana tindakan
adalah seperti berikut. (a) Penelitian ini diawali dengan mengadakan diskusi
dengan guru matematika SLTPN 4
Singaraja yaitu Ibu Kartini tentang keadaan siswa pada tahun-tahun terdahulu.
Hasil diskusi ini, antara lain : para siswa kurang termotivasi dalam mengikuti
pembelajaran, kurang dalam pemahaman konsep, belum diterapkan pembelajaran
kontekstual, tugas-tugas tentang materi yang sudah diajarkan, siswa yang belum
mengerti malu mengacungkan tangan. (b) Peneliti bersama-sama guru matematika
mendiskusikan kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
yang dihadapi siswa. Dalam pertemuan ini disepakati menerapkan tindakan berupa
“implementasi pendekatan kontekstual berbatuan LKS” karena tindakan di atas
dipandang cukup efektif dalam pembelajaran. Tindakan ini berlangsung tiga
siklus. (c) Peneliti dan guru menyusun LKS.
(d) Peneliti dan guru menyusun tes prestasi belajar. Tes hasil belajar
disusun dalam bentuk esai untuk mengukur prestasi belajar siswa, sedangkan
untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap model pembelajaran, siswa disuruh
menulis tanggapan dengan bebas pada selembar kertas lengkap dengan alasan.
Langkah-langkah dalam pelaksanaan
tindakan adalah seperti berikut. (a) Guru membagi kelas menjadi delapan
kelompok. (b) Guru membagikan LKS kepada siswa untuk dikerjakan secara
berkelompok tentang materi yang belum diajarkan. Tugas ini diperlihatkan pada
awal pertemuan pada saat membahas materi tersebut. (c) Selajutnya, guru
menyampaikan kesalahan-kesalahan yang dibuat pada tugas oleh masing-masing
kelompok dan menggiring kelompok lainnya agar bisa memberikan jawaban yang benar.
(d) Guru menjelaskan materi yang memang kira-kira tidak dapat dipahami oleh
siswa dengan mempelajari sendiri atau secara berkelompok.
Selama pelaksanaan tindakan,
dilaksanakan observasi terhadap perilaku siswa pada saat berlangsungnya proses
belajar mengajar. Observasi dilakukan oleh peneliti bersama praktisi.
Selanjutnya, semua hasil observasi ini dievaluasi untuk mengetahui ketepatan
prosedur pelaksanaan tindakan atau kebermaknaan tindakan.
Hasil observasi dievaluasi dan
direfleksikan. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga siklus. Pada siklus
pertama, dilakukan tiga kali refleksi yaitu sebelum tindakan, di pertengahan
tindakan dan di akhir tindakan.
Refleksi pada awal kegiatan pada
siklus pertama bertujuan untuk merencanakan tindakan. Refleksi pada pertengahan
merupakan semi refleksi dilakukan oleh peneliti bersama praktisi, bertujuan
untuk melihat kelemahan-kelemahan tindakan sebelumnya agar tindakan berikutnya
lebih sempurna. Refleksi pada akhir siklus pertama yang dilakukan oleh peneliti
bersama praktisi dilakukan untuk mencermati dampak negatif dan dampak positif
tindakan pada siklus pertama dan digunakan sebagai bahan perbaikan perencanaan
tindakan siklus kedua.
Dalam penelitian ini, data tentang
prestasi belajar matematika siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes, sedangkan
untuk mengumpulkan data tentang tanggapan siswa terhadap model pembelajaran
yang diterapkan, siswa menulis secara bebas pada selembar kertas lengkap dengan
alasan.
Data tentang prestasi belajar siswa
dianalisis dengan menghitung reratanya. Data tentang tanggapan siswa terhadap
tindakan yang dilakukan dianalisis berdasarkan persentase siswa yang memberi
tanggapan yang dapat dikatagorikan positif atau negatif.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam tiga siklus. Subjek
penelitian ini adalah siswa kelas II B3
SLTPN 4 Singaraja tahun ajaran 2004/2005 sebanyak 38 orang.
Materi yang dibahas selama
siklus I adalah Teorema Pythagoras. Pelaksanaan tindakan pada siklus I dari
penelitian ini adalah sebagai berikut. (a) Guru membagi kelas menjadi delapan
kelompok. Tiap kelompok terdiri dari empat atau lima orang. Dalam penentuan
anggota kelompok siswa dibebaskan memilih kelompok sesuai dengan keinginannya.
(b) Guru membagikan LKS kepada siswa untuk dikerjakan secara berkelompok
tentang materi yang belum diajarkan. Tugas ini diperlihatkan pada awal
pertemuan pada saat membahas materi tersebut. (c) Selajutnya, guru menyampaikan
kesalahan-kesalahan yang dibuat pada tugas oleh masing-masing kelompok dan
menggiring kelompok lainnya agar bisa memberikan jawaban yang benar. (d) Guru
menjelaskan materi yang memang kira-kira tidak dapat dipahami oleh siswa dengan
mempelajari sendiri atau secara berkelompok. (e) Setelah selesai membahas
materi sesuai dengan yang telah direncanakan selama siklus I, seperti yang
telah diuraikan di atas, guru selanjutnya memberikan tes. Tes yang diberikan
berupa tes uraian yang nantinya akan digunakan untuk memperoleh data tentang
prestasi belajar siswa.
Rerata prestasi belajar pada siklus
I adalah 64,7. Hal ini belum memenuhi tuntutan kurikulum yaitu minimal
reratanya 65. Bila dicermati lebih mendalam, terdapat 7 siswa (18,4%) yang
memperoleh skor lebih besar atau sama dengan 85 (tidak ada yang mendapat skor
100), terdapat 5 siswa (13,2 %) yang memperoleh skor kurang dari 50.
Materi yang dibahas selama siklus II
adalah garis-garis sejajar. Hasil yang diperoleh pada siklus I cukup memuaskan.
Proses pembelajaran pada siklus I berjalan cukup baik namun dalam kelompok
siswa masih ngumpul yang pintar dengan yang pintar dan yang kurang dengan yang
kurang. Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa maka dipandang perlu
memperbaiki proses pembelajaran. Pada siklus I sebagian besar siswa tidak
berani mengemukakan pendapatnya atau menjawab pertanyaan. Tampak hanya beberapa
siswa saja yang mendominasi mengajukan pertanyaan atau menjawab pertanyaan.
Pada siklus II guru mengubah susunan anggota kelompok sehingga pada setiap
kelompok ada yang kemampuannya baik dan ada yang kemampuannya kurang. Di
samping itu, guru lebih memfokuskan perhatiannya pada siswa yang nilainya
sangat lemah pada siklus I. Siswa yang kurang berani bertanya atau mengemukakan
pendapat atau menjawab pertanyaan dimotivasi supaya berani bertanya,
mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan. Di samping itu, penunjukan
wakil kelompok untuk mengerjakan hasil diskusinya tidak lagi diserahkan kepada
kelompok tersebut, tetapi dilakukan oleh guru dengan mengutamakan anggota kelompok
yang jarang bertanya, mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan.
Rerata
prestasi belajar siswa pada siklus II adalah 40,8. Bila dibandingkan dengan
rerata prestasi belajar pada siklus I, terjadi penurunan yang cukup besar yaitu
dari 64,7 pada siklus I mejadi 40,8 pada siklus II. Pada siklus II terdapat 24
orang siswa (63,2%) yang memperoleh skor kurang dari 50.
Materi yang dibahas selama siklus
III adalah jajar genjang. Hasil yang diperoleh pada siklus II reratanya kurang
memuaskan. Untuk itu pada siklus III guru berusaha agar siswa mau mengemukakan
pendapatnya dan menanyakan hal-hal yang belum dimengertinya. Penunjukkan wakil
kelompok yang mengerjakan di depan kelas hasil diskusinya masih dilakukan oleh
guru dengan memprioritaskan yang mendapat nilai kurang pada siklus II.
Rerata prestasi belajar siswa pada
siklus III adalah 60,1. Bila dibandingkan dengan rerata prestasi belajar pada
siklus II maka terjadi peningkatan yang cukup besar yaitu dari 40,8 pada siklus
II mejadi 60,1 pada siklus III. Pada siklus III terdapat dua orang siswa (5,3%)
yang memperoleh skor 100. Bila dibandingkan dengan siklus II maka terjadi
peningkatan yang memperoleh skor 100 yaitu dari tidak ada siswa (0%) pada
siklus II menjadi dua orang siswa (5,3%) pada siklus III. Terdapat 10 orang
siswa (26,3%) yang memperoleh skor kurang dari 50. Prestasi belajar siswa pada
siklus III masih lebih rendah dari siklus I. Hal ini disebabkan oleh
karakteristik materi pada siklus III memerlukan tingkat penalaran yang lebih
tinggi daripada materi pada siklus I. Materi pada siklus III menyangkut
beberapa konsep, sedangkan pada siklus I hanya memuat konsep dasar.
Pada akhir siklus III, di samping
diadakan tes prestasi belajar, siswa juga disuruh menulis tanggapannya terhadap
pendekatan pembelajaran yang diterapkan lengkap dengan alasan. Dari 38 orang
siswa, 23 orang (60,5%) yang memberi
tanggapan positif dan 15 orang (39,5%) yang memberi tanggapan negatif. Alasan
siswa yang memberi tanggapan positif adalah (a) menjadi lebih giat belajar, (b)
situasi belajar menyenangkan, (c) tahu kesalahan diri sendiri, (d) mudah
memahami, (e) tahu kemampuan diri sendiri, (f) cepat mengerti, (g) bisa saling
tanya jawab. Alasan siswa yang memberi tanggapan negatif adalah (a) belum
mengerti tanpa dijelaskan lebih dahulu, (b) belum mengerti tanpa dijelaskan
lebih dulu karena matematika sulit, (c) lambat mengerti, (d) tidak bisa
mengerjakan.
3.2 Pembahasan
Sebelum melaksanakan penelitian,
sebagai tahap awal, peneliti mengadakan diskusi dengan guru matematika SLTPN 4
Singaraja yaitu Ibu Kartini tentang keadaan siswa pada tahun-tahun sebelumnya.
Hasil diskusi ini, antara lain : para siswa kurang termotivasi dalam mengikuti
pembelajaran, kurang dalam pemahaman konsep, belum diterapkannya pembelajaran
kontekstual, tugas-tugas tentang materi yang sudah diajarkan, siswa yang belum
mengerti malu mengacungkan tangan untuk bertanya. Setelah kegiatan refleksi
awal peneliti bersama guru matematika mendiskusikan kemungkinan tindakan yang
dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi siswa. Dalam pertemuan
tersebut disepakati menerapkan tindakan berupa implementasi pendekatan
kontekstual berbantuan LKS. Penelitian tindakan ini dilaksanakan dalam tiga
siklus. Pada akhir tiap siklus diadakan tes prestasi belajar dan khusus pada
akhir siklus III di samping dilaksanakan tes prestasi belajar siswa juga
disuruh menulis tanggapannya terhadap model pembelajaran yang diterapkan
lengkap dengan alasan pada selembar kertas.
Pada siklus I, diskusi kelompok
belum berlangsung optimal. Tiap-tiap kelompok masih tampak lebih mengutamakan
penonjolan individu. Hal ini tampak dari anggota kelompok yang lebih suka
mengerjakan ke depan kelas sebelum membantu pemahaman teman didalam
kelompoknya. Untuk mengatasi hal ini, guru berulang-ulang memberitahukan agar
soal-soal yang diberikan didiskusikan dulu didalam kelompoknya dan jika ada
siswa yang belum mengerti supaya menanyakan kepada teman sekelompoknya. Dari
delapan kelompok yang ada, tampak satu kelompok, yaitu kelompok III, yang kurang
aktif dan kurang serius mengikuti proses pembelajaran. Anggota kelompok pada
siklus I dipilih sendiri oleh siswa. Akibatnya, ada kelompok yang anggotanya
pintar-pintar dan ada kelompok yang anggotanya semuanya kurang dalam akademis.
Pada akhir siklus I, diadakan tes prestasi belajar. Berdasarkan analisis data
diperoleh rerata prestasi belajar siswa adalah 64,7. Bila dicermati lebih
mendalam, terdapat 5 siswa (13,2 %) yang memperoleh skor kurang dari 50.
Kesalahan yang dilakukan siswa sebagian besar dalam menyelesaikan soal cerita.
Pada siklus II, dalam diskusi
kelompok, anggota kelompok yang sudah mengerti mau memberi penjelasan kepada
teman didalam kelompoknya yang belum mengerti dan yang belum mengerti tidak
malu-malu menanyakan kepada teman sekelompoknya. Bahkan, siswa berani bertanya
kepada guru bila semua anggota kelompoknya belum yakin terhadap hasil
diskusinya. Bila disuruh ke depan kelas, hampir semua siswa mengacungkan
tangan, walaupun, setelah ditunjuk ke depan, ada yang salah. Ini berarti siswa
sudah berani mengemukakan pendapatnya tidak peduli salah atau benar. Pada
siklus II ini guru lebih banyak memberikan bimbingan kepada siswa yang nilainya
kurang pada siklus I. Hasil tes prestasi belajar pada akhir siklus II
menunjukkan rerata kelas 40,8. Bahkan, bila dicermati lebih mendalam terdapat
24 siswa (63,2 %) yang memperoleh skor kurang dari 50. Rendahnya skor pada
siklus II disebabkan oleh kurangnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan
soal-soal yang memerlukan analisis yang cukup tinggi.
Pada siklus III, dalam diskusi
kelompok, semua siswa sudah berani mengemukakan pendapat maupun bertanya. Semua
siswa tampak senang mengikuti pembelajaran. Pada siklus III, guru lebih banyak
memberi bimbingan kepada siswa yang nilainya kurang pada siklus II. Hasil tes
prestasi belajar pada akhir siklus III menunjukkan rerata kelas 60,1. Bila
dibandingkan dengan siklus II terjadi peningkatan rerata yang cukup besar yaitu
dari 40,8 menjadi 60,1. Bila dicermati lebih mendalam, terdapat dua siswa (5,3
%) yang memperoleh skor 100. Skor ini tak pernah dicapai, baik pada siklus I
maupun pada siklus II.
Terhadap penerapan metode
pembelajaran ini, 60,5% siswa memberi tanggapan positif dan 39,5 persen memberi
tanggapan negatif. Siswa yang memberi tanggapan negatif beralasan mereka belum
bisa mengerti tanpa dijelaskan lebih dahulu. Sedangkan yang memberi tanggapan
positip memberi alasan bahwa model tersebut dapat memotivasi mereka untuk
belajar lebih giat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian besar siswa
merasa senang dengan metode yang diterapkan yaitu implementasi pendekatan
kontekstual berbantuan LKS.
4. Penutup
Berdasarkan hasil dan pembahasan
dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
implementasi pendekatan kontekstual berbantuan LKS mengakibatkan suasana
akademik cukup kondusif. Hal ini tercermin dari banyaknya siswa yang berani
mengemukakan pendapat maupun mengajukan pertanyaan pada saat proses
pembelajaran. Bila dicermati prestasi belajar matematika siswa rerata pada
akhir siklus I adalah 64,7 pada akhir
siklus II adalah 40,8 dan pada akhir siklus III adalah 60,1. Prestasi untuk
siklus I dan siklus III untuk ukuran SLTPN 4 Singaraja sudah cukup baik
mengingat kemampuan input siswa yang masuk ke sekolah ini relatif lebih rendah
dibandingkan SLTPN di kota Singaraja. Penurunan rerata hasil prestasi dari
siklus I ke siklus II disebabkan oleh sebagian besar siswa belum mampu
mengaplikasikan konsep yang diajarkan. Sebagian besar siswa memberi tanggapan
positif terhadap pendekatan pembelajaran yang diterapkan.
Berdasarkan simpulan
di atas, dikemukakan
saran-saran berikut. (a) Disarankan kepada guru matematika untuk
mencobakan model pembelajaran di atas
dengan lebih banyak memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengaplikasikan konsep-konsep yang diajarkan karena pendekatan pembelajaran
tersebut dan menciptakan suasana kelas yang kondusif. (b) Disarankan kepada
peneliti lain untuk mengembangkan model pembelajaran di atas dan mencobanya di
jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Berg, VD. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi.
Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana.
Dahar, Ratna
Wilis. 1989. Konstruktivisme dalam
Mengajar dan Belajar. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FP.MIPA
IKIP Bandung.
Direktorat PLP.
2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual
Teaching and Learning). Jakarta : Depdiknas.
Grows, D.A. 1992.
Handbook of Research on Mathematics
Teaching and Learning. New York : MacMillan.
Hudojo, Herman.
1998. Pembelajaran Matematika Menurut
Pandangan Konstruktivistik. Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional Upaya-Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan
Matematika dalam Menghadapi Era Globalisasi. IKIP Malang, 4 April 1998.
Kemmis,W.C &
Taggart, R.M. 1988. The Action Research
Planner. Geelong Victoria: Deakin University Press.
Sadia, Wayan.
1996. Model Konstruktivis Dalam Belajar
dan Mengajar. Makalah disampaikan dalam Seminar Metode Pembelajaran MIPA di
Jurusan Pendidikan MIPA STKIP Singaraja
Tgl. 1 Maret 1996. Singaraja : STKIP Singaraja.
Sahabat-sahabat guru yang super materi selengkapnya dapat didownload secara gratis di bawah ini